augur




"Datang padaku! Aku akan membacakannya untukmu."


Pagi buta aku diramal. Membiarkan orang itu menatap lama padaku, meraba tanganku, dan melihat masa depanku. Ga jarang juga aku minta padanya ceritakan masa laluku. Pergi dari rumah jam 1 a.m., berjalan kaki menuju karavan meriah dengan baliho yang di samping jalan masuk wilayah karavan. Karavan yang dihiasi dengan hiasan khas peramal dan lampu yang kedap-kedip nampak menyenangkan, namun disisi lain mengatakan itu sakral.


Dia terlihat... sangat merah. Cocok sekali dijadikan sebagai lampu lalu lintas. Dan permata-permata yang tertempel pada topi peramalnya, bisa dijadikan senter untukku pulang nanti.


Aku yakin, ia sempat mengintip jendela tiap jendela saat sedang menjelajahi memoriku. Sebentar, ia menatap serius padaku, lalu kembali menutup kedua matanya. Dalam karavan, hanya bola sihirnya yang bisa dijadikan lampu. Semua lampu dimatikannya, namun bola sihir miliknya masih bersinar setelah sang peramal meraba —berjarak beberapa inci dengan kedua telapak tangannya— bola sihirnya. Peramal itu menampakkan keseriusan, detik tiap detik.


Satu jam telah kami lewati. Perjalanan memori memang menyenangkan. Sebelum pergi, peramal itu memberikanku segelas penuh sirup rasa jeruk, sirup kesukaanku. Mungkin ia sempat melihatku meminum jus jeruk di arsip memoriku tadi. Aku harap, dia tidak melihat semua.


Pagi itu memang gelap, tapi tak segelap saat kudatang ke karavan. Aku kembali, berjalan menelusuri jalan yang sebelumnya telah ditelusuri, masih dengan pohon-pohon cemara di kiri dan kanan jalan raya. Sesampainya di rumah, kulepas sepatu dan kaos kaki, kurapihkan rumah, basuh tubuhku, dan kusantap biskuit rasa coklat plus susu putih kemudian.




Nanda Dega



0 komentar:

Posting Komentar