Rumah Pohon



Tengah mendendangkan lagu yang mereka suka

*memetik gitar*
......... mmmhhh ......
la..lala..laa... ~

Tidak harus gitar listrik atau piano memang, walaupun aku juga jatuh cinta pada mereka.
Kini kupersilahkan biola dan gitar untuk menempati ruangku.
Tapi bukan berarti aku tak setia dengan kalian, teman-teman lama. Tolong biarkan aku bekerja.
Kalian jangan segan karena aku ingat kalian, tatkala aku menggesek biola dan memetik gitar.
Kalian coklat pucat dan coklat-kemerahan.


Aku ingin mengisi kamar ini dulu, kamar yang sudah tidur bersamaku dan melindungiku mati-matian ini.
Dia... coklat pekat. Berjendela dan bertirai.
Kalau kalian lihat dia, kalian pasti ingin memeluknya kar'na sinar eloknya yang memikat.
Tapi sayang, dia terlalu besar untuk kalian peluk.
Dia akan terlihat keren kalau aku bermain gitar atau biola di depan pintu.
Memang kami ini saling melengkapi.


Dia seperti payung di saat hujan dan topi di saat musim kemarau.


Aku bisa melihat lapangan bola dari sini.


Aku juga bisa melihat kebun pamanku.
Pamanku adalah orang yang rajin. Setiap hari kebunnya diperlakukan seperti kepala ratu, dilayani dan dimahkotai. Lihat saja mahkotanya itu, hingga berwarna-warni warnanya.
Tidak jarang juga aku mengambil beberapa bagian dari mahkota itu untuk kumakan.
Benar-benar sedap, sebagai pengganti jajanan yang ada di toko-toko.
Dan mahkota itu bisa mengurangi pengeluaranku tentunya.

*penjahat kecil!*

Aku tidak menyebut itu tindak kejahatan.
Aku hanya melakukan apa yang guruku ajarkan padaku:
"manfaatkan sumber daya alam"
Begitu kata beliau.


Dan juga, kalian bisa melihat pemandangan yang spektakuler dari sini. Pegunungan.
Biarpun terlihat kecil, tapi itu cukup untuk menyejukkan hati dan mata kalian.
Dari sini kalian bisa merasakan sejuknya pegunungan itu.


Dedaunan suka menjadi jendela keduaku, biarpun hanya lewat celah-celah.
Seperti jendela yang dilapisi oleh jendela lain.
Tapi, itu adalah salah satu dari keindahan rumah pohon ini.
Kalian bisa jatuh cinta kar'nanya.


Ayahku berkata kalau aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri.
Ibuku berkata kalau aku harus bermain bersama teman-teman di luar sesekali.
Tapi, biarpun kalimat-kalimat itu sudah kusambung dengan kata sambung "dan", tetap aku masih belum mau mengindahkan.
Pertama kali aku keluar untuk mencari teman, yang kutemukan hanya sekumpulan anak-anak yang hobi menggosip, bermain gadget, dan kesibukan-kesibukan lainnya.
Anak-anak itu seperti orang dewasa saja. Aku tidak mau dikelilingi dan bergaul dengan orang dewasa yang seperti itu.
Dan itu adalah yang terakhir bagiku untuk keluar mencari teman.


Kuterjun dengan sepatu kets, celana pendek, serta kemeja yang serba putih dari rumah pohon kemudian.
Tenang. Ketinggian rumah pohon dengan tanah tidak sampai ratusan meter.
Selain itu, aku bukan mendarat di atas kumpulan paku berkarat yang siap menusuk kaki.
Hanya rerumputan indah yang siap diinjak.
Alangkah tenangnya, kar'na ini bukan paragraf horor.


Angin —sumber daya yang tidak tahu sopan santun— berhembus sembarang —karena aku tidak tahu datang dari arah mana—, menabrak pepohonan yang ada disebelah sana sebelum ia menabrak pohon yang jadi tempat tinggal rumah pohonku.
Kalian seharusnya berada di sini saat itu.
Kar'na wajahnya yang selama ini tertutup rambut, hampir terlihat penuh.
Setelah sekian lama bersembunyi dari orang-orang.
Menunjukkan ketampanannya sekali lagi.
Pada kami...
Sore itu.





Nanda Dega



0 komentar:

Posting Komentar